JAKARTA - Label halal pada produk makanan dan minuman (Mamin), diyakini akan memperkuat daya saing produk lokal dalam menghadapi gempuran produk Mamin asing. Dengan penerapan jaminan hahal itu, seluruh produsen Mamin yang mengekspor ke Indonesia akan meningkatkan kualitas produknya. Rencananya, DPR bersama pemerintah akan merumuskan Rancangan Undang Undang Jaminan Produk Halal. Daya saing produk lokal akan terjaga, meski menghadapi pasar bebas ASEAN-China dan AFTA, ujar Direktur Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-Obatan, dan Kosmetik (LPPOM) Majelis Ulama Indonesia, Lukmanul Hakim, Senin (23/5) kemarin. Ia menyebut, pasar dalam negeri kebanjiran produk impor yang tidak terjamin halal, padahal masyarakat muslim Indonesia punya hak jaminan makanan yang mereka konsumsi halal. Apalagi saat ini Indonesia adalah negara dengan jumlah penduduk muslim terbesar. "Indonesia adalah konsumen potensial bagi aneka jenis produk pangan, obat, dan kosmetik dari negara lain, tapi ini juga peluang bagi perusahaan dalam negeri untuk menjadi tuan di negeri sendiri," katanya. Namun sayang, hingga sekarang masih banyak produk makanan dan minuman impor yang belum bersertifikat halal. Seperti produk makanan dan minuman yang diimpor dari Cina saja saat ini baru ada sekitar 307 produk yang telah mendapat sertifikat halal. Padahal, produk impor makanan dan minuman dari negara tirai bambu itu mencapai 3.343 produk dari 232 perusahaan. Untuk melakukan sertifikasi halal, saat ini MUI telah bekerja sama dengan 44 lembaga sertifikasi halal yang terdapat di 22 negara. "Namun, kami belum melakukan kerja sama dengan lembaga standardisasi halal Cina. Untuk Cina, standardisasi halal MUI dilakukan oleh perwakilan MUI di Cina," katanya. MUI berharap Indonesia bisa secepatnya memiliki payung hukum dalam penerapan produk halal melalui pembuatan Undang-Undang Jaminan Produk Halal yang saat ini rancangannya masih dalam pembahasan di DPR RI. "Kami berharap undang-undang itu bisa selesai tahun ini karena selama ini Indonesia belum memiliki payung hukum yang komprehensif mengenai produk halal," katanya. Padahal, perdagangan internasional yang menganut pasar bebas, seperti CAFTA, Masyarakat Ekonomi Eropa (European Union), dan World Trade Organization telah mengintroduksi ketentuan mengenai pedoman halal, sebagaimana yang tercantum dalam Codex Alimenterius pada 2007. Dalam rangka meningkatkan sosialisasi informasi tentang produk halal tersebut, tahun ini MUI kembali mengadakan pameran produk halal internasional, yaitu Indonesia Halal Expo (Indhex 2011) pada 24-26 Juni di Gedung Smesco, Jakarta. "Akan diikuti oleh produsen dan lembaga sertifikasi halal dari dalam dan luar negeri, Cina juga ikut," kata Wakil Direktur 1 LPPOM MUI Osmena Gunawan. Dalam acara tersebut juga akan dicanangkan pengukuhan Indonesia sebagai pusat halal dunia (World Halal Center). Indonesia nantinya akan menjadi pusat standardisasi, sertifikasi, dan teknologi halal dunia. Sementara itu Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), menilai kewajiban labelisasi halal untuk produk pangan akan menimbulkan masalah. YLKI mempertanyakan kesanggupan pemerintah untuk menegakkan hukum terhadap perusahaan besar yang melanggar ketentuan labelisasi halal itu. "Jika diwajibkan malah jadi persoalan. Lebih baik sifatnya voluntary saja," kata Ketua Harian YLKI Sudaryatmo. Labelisasi halal tersebut, menurut Sudaryatmo, akan otomatis dilakukan oleh pelaku usaha yang mendirikan perusahaan pangan di kawasan yang mayoritas muslim, seperti di Indonesia. "Itu konsekuensi agar produk mereka laku. Tak perlu wajib," kata Sudaryatmo. Menurut Sudaryatno, labelisasi membutuhkan biaya tinggi. Seperti pengurusan di lembaga sertifikasi, akreditasi, pemeriksa, hingga komisi fatwa. Sudaryatmo pun meminta agar proses labelisasi halal yang diterapkan berbeda antara industri pangan besar dengan industri kecil. "Industri kecil kerap mengeluh harus menanggung tiket dan biaya penginapan auditor dari Jakarta," kata Sudaryatmo. Sebelumnya, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menyatakan semua produk pangan yang mengandung babi atau dalam prosesnya pernah bersinggungan dengan babi wajib mencantumkan kotak merah bergambar babi. Kepala BPOM Kustantinah mengatakan, gambar babi itu harus dicantumkan dalam setiap kemasan produk yang diedarkan. Langkah itu ditempuh untuk memberi informasi buat masyarakat Indonesia, yang mayoritas muslim. Ia menyayangkan masih banyaknya produk makanan yang beredar di masyarakat yang belum teregistrasi sertifikat halal. ktn, ti Label Halal Perkuat Produk Lokal di Pasar Bebas
Selasa, 24/05/2011 | 10:34 WIB JAKARTA - Label halal pada produk makanan dan minuman (Mamin), diyakini akan memperkuat daya saing produk lokal dalam menghadapi gempuran produk Mamin asing. Dengan penerapan jaminan hahal itu, seluruh produsen Mamin yang mengekspor ke Indonesia akan meningkatkan kualitas produknya. Rencananya, DPR bersama pemerintah akan merumuskan Rancangan Undang Undang Jaminan Produk Halal. Daya saing produk lokal akan terjaga, meski menghadapi pasar bebas ASEAN-China dan AFTA, ujar Direktur Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-Obatan, dan Kosmetik (LPPOM) Majelis Ulama Indonesia, Lukmanul Hakim, Senin (23/5) kemarin. Ia menyebut, pasar dalam negeri kebanjiran produk impor yang tidak terjamin halal, padahal masyarakat muslim Indonesia punya hak jaminan makanan yang mereka konsumsi halal. Apalagi saat ini Indonesia adalah negara dengan jumlah penduduk muslim terbesar. "Indonesia adalah konsumen potensial bagi aneka jenis produk pangan, obat, dan kosmetik dari negara lain, tapi ini juga peluang bagi perusahaan dalam negeri untuk menjadi tuan di negeri sendiri," katanya. Namun sayang, hingga sekarang masih banyak produk makanan dan minuman impor yang belum bersertifikat halal. Seperti produk makanan dan minuman yang diimpor dari Cina saja saat ini baru ada sekitar 307 produk yang telah mendapat sertifikat halal. Padahal, produk impor makanan dan minuman dari negara tirai bambu itu mencapai 3.343 produk dari 232 perusahaan. Untuk melakukan sertifikasi halal, saat ini MUI telah bekerja sama dengan 44 lembaga sertifikasi halal yang terdapat di 22 negara. "Namun, kami belum melakukan kerja sama dengan lembaga standardisasi halal Cina. Untuk Cina, standardisasi halal MUI dilakukan oleh perwakilan MUI di Cina," katanya. MUI berharap Indonesia bisa secepatnya memiliki payung hukum dalam penerapan produk halal melalui pembuatan Undang-Undang Jaminan Produk Halal yang saat ini rancangannya masih dalam pembahasan di DPR RI. "Kami berharap undang-undang itu bisa selesai tahun ini karena selama ini Indonesia belum memiliki payung hukum yang komprehensif mengenai produk halal," katanya. Padahal, perdagangan internasional yang menganut pasar bebas, seperti CAFTA, Masyarakat Ekonomi Eropa (European Union), dan World Trade Organization telah mengintroduksi ketentuan mengenai pedoman halal, sebagaimana yang tercantum dalam Codex Alimenterius pada 2007. Dalam rangka meningkatkan sosialisasi informasi tentang produk halal tersebut, tahun ini MUI kembali mengadakan pameran produk halal internasional, yaitu Indonesia Halal Expo (Indhex 2011) pada 24-26 Juni di Gedung Smesco, Jakarta. "Akan diikuti oleh produsen dan lembaga sertifikasi halal dari dalam dan luar negeri, Cina juga ikut," kata Wakil Direktur 1 LPPOM MUI Osmena Gunawan. Dalam acara tersebut juga akan dicanangkan pengukuhan Indonesia sebagai pusat halal dunia (World Halal Center). Indonesia nantinya akan menjadi pusat standardisasi, sertifikasi, dan teknologi halal dunia. Sementara itu Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), menilai kewajiban labelisasi halal untuk produk pangan akan menimbulkan masalah. YLKI mempertanyakan kesanggupan pemerintah untuk menegakkan hukum terhadap perusahaan besar yang melanggar ketentuan labelisasi halal itu. "Jika diwajibkan malah jadi persoalan. Lebih baik sifatnya voluntary saja," kata Ketua Harian YLKI Sudaryatmo. Labelisasi halal tersebut, menurut Sudaryatmo, akan otomatis dilakukan oleh pelaku usaha yang mendirikan perusahaan pangan di kawasan yang mayoritas muslim, seperti di Indonesia. "Itu konsekuensi agar produk mereka laku. Tak perlu wajib," kata Sudaryatmo. Menurut Sudaryatno, labelisasi membutuhkan biaya tinggi. Seperti pengurusan di lembaga sertifikasi, akreditasi, pemeriksa, hingga komisi fatwa. Sudaryatmo pun meminta agar proses labelisasi halal yang diterapkan berbeda antara industri pangan besar dengan industri kecil. "Industri kecil kerap mengeluh harus menanggung tiket dan biaya penginapan auditor dari Jakarta," kata Sudaryatmo. Sebelumnya, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menyatakan semua produk pangan yang mengandung babi atau dalam prosesnya pernah bersinggungan dengan babi wajib mencantumkan kotak merah bergambar babi. Kepala BPOM Kustantinah mengatakan, gambar babi itu harus dicantumkan dalam setiap kemasan produk yang diedarkan. Langkah itu ditempuh untuk memberi informasi buat masyarakat Indonesia, yang mayoritas muslim. Ia menyayangkan masih banyaknya produk makanan yang beredar di masyarakat yang belum teregistrasi sertifikat halal.
Sumber: http://www.surabayapost.co.id/
Selasa, 24 Mei 2011
Label Halal Perkuat Produk Lokal di Pasar Bebas
Diposting oleh
Phinisi Food
di
17.51
Kirimkan Ini lewat Email
BlogThis!
Bagikan ke X
Berbagi ke Facebook
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar