Pages

Rabu, 01 Juni 2011

Mendulang Laba dari Si Kuning Labu

Labu kuning atau waluh (bahasa Jawa) sejatinya adalah salah satu jenis buah yang tak asing lagi bagi masyarakat Indonesia. Tapi di Tanah Air, buah ini belum menjadi favorit sebagaimana terjadi di Eropa dan Amerika. Padahal, buah ini punya kandungan gizi yang syarat manfaat bagi kesehatan tubuh manusia, produk-produk olahannya juga berpotensi ekonomis tinggi.
Waluh, begitu orang Jawa menyebut buah yang tergolong sayuran ini. Sebagai sumber pangan, labu, begitu nama lainnya, tidaklah asing bagi masyarakat kita. Kendati pengolahannya masih sebatas itu saja. Padahal, buah dari tanaman merambat ini juga sumber serat kaya manfaat, terutama bagi kesehatan. Jadi, bukan sekadar memberi peragaman menu dapur.
Telah banyak bukti diungkap oleh para pakar gizi dan kesehatan tentang manfaat pumpkin, begitu orang bule menyebutnya, bagi kesehatan, seperti mengobati tekanan darah tinggi, arterosklerosis (penyempitan pembuluh darah), jantung koroner, dan diabetes mellitus (kencing manis), menurunkan panas, serta memperlancar pencernaan. Bahkan bisa pula untuk mencegah kanker.
Walau sepintas berasa “dingin”, tapi kandungan gizi buah yang bernama Latin Cucurbita moschata ini cukup beragam. Dalam setiap 100 gr labu kuning, namanya yang lain lagi, terkandung 34 kalori; 1,1 protein; 0,3 lemak; 0,8 mineral; dan 45 mg kalsium. Di samping juga serat, vitamin C dan vitamin A, serta air. Melihat kandungan gizinya yang sedemikian rupa, harap maklum bila olahan waluh sangat baik dikonsumsi dari anak-anak hingga orang tua. Apalagi, soal rasa tak perlu diragukan lagi.
Tapi, jika Anda melewati jalan raya antara Kota Salatiga - Kopeng, Kecamatan Getasan, Semarang pastilah sering menjumpai buah labu dalam ukuran besar teronggok di tepi jalan. Ketidakmampuan para petani mengolah buah labu menjadi produk makanan lain dan hanya menjualnya begitu saja membuat harga jualnya tidak tetap. Akibatnya, hasil panen buah labu seringkali hanya teronggok di tepi jalan menanti pembeli. Lebih buruk lagi, sebagian besar di antaranya hanya dijadikan makanan binatang ternak sapi.
Hal itulah yang menggerakkan hati Slamet (45), warga Desa Getasan RT 07 RW 01 Kecamatan Getasan, Semarang untuk memanfaatkan buah labu menjadi produk makanan yang lebih menarik dan bernilai ekonomis tinggi. Ayah dua anak ini mengolah labu menjadi makanan kering dalam kemasan dan menjadi makanan khas obyek wisata agro Kopeng, yakni geplak labu atau geplak waluh.
Bersama sang istri, Nanik Daryanti, Slamet mengembangkan pengolahan labu menjadi aneka kudapan ringan yang lezat. Panganan seperti geplak waluh, emping waluh, sirup waluh, bak pia waluh dan wingko waluh.
“Banyak orang yang meremehkan buah labu ini karena belum tahu bagaimana mengembangkannya. Tapi sekarang, warga di sekitar kami juga sudah banyak yang mengikuti usaha ini,” tuturnya.
Pasangan ini memulai usaha sampingannya sejak tahun 2002 lalu. Ketika itu Slamet dipercaya menjadi penyuluh lapangan dari Dinas Pertanian Kabupaten Semarang. Berbekal pengalamannya di lapangan itulah, dia memiliki pemikiran untuk mengembangkan usaha dengan memanfaatkan buah labu.
Kecamatan Getasan terutama di sekitar Kopeng yang terletak di Lereng Gunung Merbabu yang berketinggian 700-1.300 meter di atas permukaan laut (dpl) sangat cocok untuk areal pertanian termasuk budidaya labu. Karenanya, dia berharap usaha diversifikasi buah labu ini dapat berkembang dan terus meningkat. Pasalnya, produksi buah labu di sana sangat tinggi. Selain itu juga terkenal sebagai penghasil produk pertanian terutama jagung, tembakau dan sayur mayur.
“Harga labu memang labil. Pada bulan Maret-April saat musim tanam, harganya bisa mencapai Rp 1.200 per kg. Namun harga labu bisa jatuh mencapai Rp 600 per kg sewaktu panen. Malahan saat-saat tertentu harganya sangat rendah, cuma Rp 150 per kg,” papar Nanik.
Diakui oleh Nanik, awalnya bersama suami dia hanya sekadar mencoba memanfaatkan buah labu. Dari upaya coba-coba itulah justru memberikan penghasilan tambahan yang cukup besar. “Kami tidak menyangka ternyata pendapatan dari usaha ini cukup lumayan, malah justru lebih besar dari pendapatan suami saya sebagai PNS,” ujar Nanik sambil terkekeh.
Dalam satu hari, Nanik mengaku mampu membuat geplak waluh sebanyak 50 kg dari bahan dasar lima sampai delapan buah waluh. Makanan kecil dari labu ini banyak dipasarkan di sekitar Kota Salatiga, Ungaran dan Semarang. Dibantu warga sekitarnya, omzet bersih pengelolaan industri geplak waluh yang dipimpin Nanik mampu mencapai Rp 3 juta per bulan.

Omzet Rp 15 Juta Per Bulan
Masih di Semarang. Mengolah waluh untuk meningkatkan nilai ekonomisnya, sudah lebih dulu dilakukan C. Titiek Suryati ketimbang Slamet dan istrinya.  Sejak 1998 Titiek sudah memproduksi jenang dan emping waluh. Bersama dengan tujuh karyawannya yang dibagi menjadi tenaga masak, pemasaran, dan loper, setiap bulan dia menghasilkan 300 kg jenang waluh yang dijual dengan harga grosir Rp 18 ribu per kg dan harga eceran Rp 20 ribu per kg sampai Rp 22 ribu per kg.
Sedangkan untuk emping waluh yang berasa bawang, keju, barbeque, balado, dan pizza, setiap bulan ia memproduksi 600 kg, yang ditawarkan dengan harga grosir Rp 15 ribu per kg dan harga eceran Rp 18 ribu per kg hingga Rp 20 ribu per kg. “Saat sedang ramai pembeli, kami mampu memproduksi 500 kg sampai 600 kg jenang waluh per bulan dan 50 kg emping waluh per hari,” katanya. Dengan demikian, dalam sebulan, setidaknya Titiek meraup omset Rp 15 juta.
Lantas, apa bedanya jenang dan emping dari waluh ini dengan jenang dari ketan atau gula merah dan emping melinjo? “Jenang dan emping waluh kami tidak lengket di gigi ketika disantap dan bergizi. Selain itu, kandungan gula pada waluh, aman bagi penderita diabetes,” jelas Titiek yang melabeli produknya “Serasi”.
Namun, untuk menjaga kekentalan jenangnya dan keawetan produknya, dalam proses produksi, dia mencampuri waluh dengan gula pasir kualitas nomor satu, sehingga panganan yang dapat dijumpai di Ungaran dan Semarang ini mampu bertahan empat bulan hingga lima bulan.
“Serasi” yang berada di bawah bendera UD Adhie ini, dibangun dengan modal awal Rp 100 ribu yang digunakan untuk membiayai pembelian bahan baku dan bahan tambahan lain. Dengan berjalannya waktu, modal ini membengkak menjadi Rp 10 juta dan akhirnya Rp 25 juta rupiah.
“Soalnya, dulu, harga waluh cuma Rp 300 per kg, sekarang sekitar Rp 1.000 per kg. Padahal, kami membutuhkan 10 kg sampai 25 kg setiap kali berproduksi. Untungnya, waluh gampang dijumpai di Semarang,” ujar wanita yang mengaku sering menerima retur dan terpaksa membuang produknya karena terlanjur kedaluarsa.
Pada dasarnya, banyak bahan pangan lokal Indonesia yang mempunyai potensi gizi dan komponen bioaktif yang baik, tapi belum dimanfaatkan dengan optimal. Di duga, salah satu penyebabnya adalah keterbatasan pengetahuan masyarakat akan manfaat komoditas pangan tersebut. Waluh, termasuk komoditas pangan yang pemanfaatannya masih sangat terbatas. ins

 Sumber: http://www.surabayapost.co.id/

0 komentar:

Posting Komentar

Terima Kasih atas kunjungan anda, semoga puas atas pelayanan kami